0
ilustrasi
ERA212 -- Kemilau emas ternyata tidak hanya menarik emiten tambang logam untuk terus mengeduk logam mulia ini dari perut bumi. Emiten tambang non emas juga terpincut untuk mulai masuk ke bisnis tambang emas. (baca)

PT Ancora Indonesia Resources Tbk (OKAS)  misalnya, sedang dalam tahap pembukaan tambang emasnya yang terletak di Lombok. Emiten produsen bahan peledak ini memiliki tiga prospek site yang akan digarap, yakni Raja, Macanggah, dan Selodong dengan luas total sekitar 10.088 hektare.

Adapula PT Indika Energy Tbk (INDY) yang mulai melirik tambang emas sebagai langkah diversifikasi usahanya.

Sejak 31 Juli hingga 20 September 2019, INDY telah membeli saham NUS sebanyak 1.872.845 saham atau setara dengan 1,12% dari keseluruhan saham NUS. Sehingga, kepemilikan INDY secara langsung dan tidak langsung di NUS mencapai 21.02% dari total keseluruhan saham.

Untuk diketahui, Nusantara Resources Ltd merupakan perusahaan investasi pertambangan mineral yang mengembangkan proyek tambang emas Awak Mas di Sulawesi Selatan. Tambang emas ini diproyeksikan bakal beroperasi empat tahun dari sekarang, tepatnya pada pertengahan 2022.

Meski demikian, beberapa emiten logam juga terus menggeber produksi emas mereka. Sebut saja PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang segera mengoperasikan tambang emas Arinem yang berlokasi di Kaki Gunung Salak, Jawa Barat.

Direktur Utama Aneka Tambang Arie Prabowo Ariotedjo mengatakan, perusahaan akan melakukan uji coba dan produksi pada awal 2020. Uji coba di tambang tersebut berupa uji coba untuk mengambil ore.

Tidak mau kalah, PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) telah menggelontorkan US$ 25 juta capex untuk peningkatan kapasitas produksi emas dan perak di Tujuh Bukit Oxide. Kemudian, sebesar US$ 15 juta capex digunakan untuk kegiatan eksplorasi endapan porfiri emas dan tembaga di Tujuh Bukit Porphyry.

Sebenarnya, masih terdapat beberapa emiten lain yang kini terjun ke bisnis tambang emas, sebut saja PT Wilton Makmur Indonesia Tbk (SQMI) dan PT United Tractors Tbk (UNTR).

Presiden Direktur CSA Institute Aria Santoso menilai, fenomena ini tidak lepas dari daya tarik emas sebagai komoditas yang dianggap bernilai tinggi.

Walaupun pertambangan emas membutuhkan waktu yang cukup panjang setidaknya sampai menghasilkan pendapatan yang memadai, tetapi proyeksi pengembalian investasi dari hasil usaha tambang emas biasanya akan lebih singkat dibandingkan komoditas lainnya.

Sementara itu, ia menilai sentimen jangka pendek yang mengasumsikan bahwa emas adalah safe haven bukanlah alasan utama kenapa banyak emiten yang kini berkecimpung di dunia tambang emas.

"Sentimen jangka pendek bahwa emas adalah safe haven ketika ada guncangan di industri keuangan bukan sebagai pemacu (trigger) utama para emiten untuk masuk dalam usaha pertambangan emas," terang Aria kepada Kontan.co.id, Selasa (26/11).

Dari banyaknya emiten yang memproduksi logam emas, Aria melihat saham ANTM dan MDKA masih layak untuk dikoleksi. Sebab, kedua emiten ini memiliki kinerja yang cukup baik.

"Rekomendasi ANTM dan MDKA, sementara yang lainnya masih menunggu kinerja perusahaan menjadi lebih baik," lanjutnya.

Ia pun merekomendasikan koleksi ANTM dan MDKA dengan target harga Rp 1.000 per saham dan Rp 1.200 per saham.

Pada perdagangan Selasa kemarin, saham ANTM dan MDKA kompak ditutup koreksi. ANTM melemah 0,61% ke level Rp 810 per saham sementara MDKA koreksi 3,33% ke level Rp 1.015 per saham.

Post a Comment

 
Top