0
Irak kini mempunyai presiden baru bernama Abdul Latif Rashid yang akan mempunyai peran penting memilih calon PM.

Dalam politik Irak yag tak tertulis, jabatan presiden dipegang seorang Kurdi, PM seorang Syiah dan Ketua Parlemen seorang ahlu sunnah atau Sunni.

Pembagian sektarian ini terjadi usai kudeta Presiden Saddam Hussein oleh invasi AS di 2003 lalu.

Jika dilihat dari sensus, kelompok Sunni lebih besar dan menjadi mayoritas di Irak. Namun Sunni kembali dibagi antara Arab dan Kurdi sehingga Syiah lebih besar jumlahnya ketimbang Arab Sunni.

Komposisi yang sama juga terjadi di Yaman. Dimana kelompok Syiah Zaidiyah hanya sekitar 30 persen dari total penduduknya. Namun sejak tahun 90-an, Syiah Zaidiyah selalu menjadi presiden karena tradisi dari era Yaman utara dan Kerajaan sebelumnya.

Di Sanaa yang menjadi ibukota Yaman Utara, Syiah menjadi mayoritas. Namun saat kedua Yaman bersatu, Sunni menjadi mayoritas tapi presiden tetap Syiah.

Saat seorang Sunni menjadi presiden yang dipegang Mansour Hadi, kelompok Houthi melakukan pemberontakan dan menguasai Sanaa.

Akhirnya Hadi melarikan diri ke Aden dan mendirikan pemerintahan di sana. Sementara itu Houthi mendirikan pemerintahan sendiri di Sanaa.

Dulunya, saat Saddam Hussein digulingkan AS dkk, beberapa lingkaran Saddam bergerak di bawah tanah melakukan perlawanan, khususnya eks penghuni kamp Bucca dan lainnya.

Mereka bahkan menguasai struktur Alqaeda yang saat itu juga ada. 

Usai momen revolusi musim semi Arab 2011, para pendukung Saddam itu berhasil mengkudeta Al Qaeda dan mendirikan ISIS yang kekuasaannya meliputi hampir setengah Irak dan Suriah.

Hampir saja ISIS diakui sebagai sebuah negara oleh beberapa analisis politik dari AS, namun segera dilawan oleh Irak dan Suriah serta koalisi setelah menjadi ancaman global.

Di atas kertas, kekuatan Houthi pasca menguasai Sanaa dan cadangan alutsista Yaman, sebenarnya lebih kuat dari ISIS yang persenjataannya hanya hasil rampasan.

Namun meski bersuara lantang lawan AS dan Israel, kekuatan Houthi dianggap tidak menjadi ancaman global.

Berbeda dengan ISIS, di mana retorikanya bisa dijadikan oleh 'lembaga intelijen' di berbagai dunia sebagai obyek eksploitasi polugri.

Misalnya, ISIS yang sebelumnya hanya bancakan kebijakan AS ke eks pemghuni kamp Bucca, kemudian bisa diambil aloh oleh intelijen Suriah untuk melawan oposisi.

Di India, ISIS juga dijadikan bancakan oleh kelompok radikal Hindu untuk membantai dan menekan orang Islam. 

Karena ISIS bisa menjadi bola liar yang bisa dieksploitasi oleh berbagai pihak, AS dkk kemudian melakukan perang yang bersifat 'containtment' untuk melumpuhkan ISIS.

Selain kesamaan di atas, politik Irak dan Yaman telihat berakhir dengan kondisi politik yang berbeda.

Bisa di Irak, lahirnya ISIS hanya untuk kemudian memperkuat posisi kelompok Syiah di pemerintahan, maka di Yaman, lahirnya Houthi menjadikan Yaman kini mempunyai dua pemerintahan.

Namun, jika saja ISIS dibiarkan oleh AS dkk eksis, maka bisa saja posisi akan seperti Houthi mendirikan pemerintahan tandingan di Irak sebagaimana dulu dalam salah satu tahapnya ISIS masih ISI atau Islamic State of Iraq yang hanya khusus beroperasi di Irak.


Post a Comment

 
Top