Setelah kejatuhan rezim Bashar al-Assad, pemerintah transisi Suriah yang baru di bawah Presiden Ahmed al-Sharaa menghadapi tantangan berat dalam menata ulang fondasi ekonomi nasional. Salah satu isu krusial adalah renegosiasi ulang atas puluhan bahkan ratusan proyek investasi yang diwariskan oleh Iran dan Rusia selama masa perang. Proyek-proyek ini sebagian besar disepakati dalam suasana darurat, di tengah tekanan militer dan ketergantungan politik terhadap dua negara pendukung Assad tersebut.
Iran, yang sejak awal menjadi penyokong utama Assad, menanamkan puluhan miliar dolar dalam bentuk pinjaman, pembangunan infrastruktur, dan proyek religius. Dari pembangkit listrik di Latakia hingga proyek tambang fosfat dan jaringan ponsel, Iran berharap mendapatkan imbal hasil jangka panjang dari “Marshall Plan” versinya sendiri. Namun, proyek-proyek tersebut kini terbengkalai, banyak yang hancur, dan sebagian besar belum membuahkan keuntungan.
Sementara itu, Rusia mengklaim hak kelola atas pelabuhan, fasilitas gas, serta tambang-tambang strategis di Suriah tengah dan utara. Di bawah kesepakatan lama, Rusia memiliki porsi saham mayoritas di beberapa BUMN Suriah dan kontrak jangka panjang yang mengikat pengelolaan sektor energi hingga 50 tahun ke depan. Pemerintah baru di Damaskus menilai, kesepakatan itu sudah tidak relevan dengan realitas politik dan ekonomi pasca-Assad.
Pemerintahan Sharaa memiliki kepentingan besar untuk merevisi perjanjian-perjanjian ini. Selain demi kedaulatan ekonomi, banyak kontrak yang terbukti tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat Suriah. Dalam sejumlah surat yang ditemukan di bekas Kedutaan Iran di Damaskus, diketahui bahwa perusahaan-perusahaan Iran menghadapi hambatan birokrasi, penolakan pembayaran, dan bahkan sabotase dari aparat lokal yang tidak puas.
Banyak proyek Iran berjalan di bawah mekanisme yang tidak transparan. Sebagian besar melibatkan perantara lokal yang berafiliasi dengan keluarga Assad atau korps milisi. Kini, dengan struktur kekuasaan baru, peluang untuk mengevaluasi dan meninjau ulang proyek-proyek tersebut terbuka lebar. Namun, proses ini bukan tanpa risiko. Iran tetap menuntut pembayaran utang sebesar lebih dari $30 miliar dan berharap proyek yang belum rampung bisa dilanjutkan.
Di sisi lain, Rusia lebih fleksibel. Beberapa pejabat Kremlin bahkan telah mengirim sinyal bahwa mereka bersedia meninjau ulang struktur kepemilikan dan pembagian hasil, asalkan posisi geopolitik mereka di Mediterania tidak terganggu. Namun, tekanan internal dari elite bisnis Rusia yang sudah terlanjur berinvestasi dalam bentuk infrastruktur dan kontrak tambang membuat proses renegosiasi berjalan lambat.
Pemerintah Suriah saat ini membutuhkan pendekatan hukum dan diplomatik yang cermat. Satu opsi adalah melakukan audit nasional terhadap seluruh aset dan utang luar negeri warisan rezim lama. Audit ini tidak hanya mengungkap potensi pelanggaran kontrak, tetapi juga bisa dijadikan dasar hukum untuk renegosiasi ulang yang sah di mata internasional, termasuk lembaga arbitrase.
Langkah selanjutnya adalah membentuk badan ad hoc yang khusus menangani renegosiasi aset dan kontrak asing. Badan ini bisa terdiri dari teknokrat lokal dan penasihat hukum internasional yang netral. Tujuannya adalah memisahkan antara investasi yang benar-benar produktif dan yang hanya menjadi alat dominasi politik semata.
Peran lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia juga bisa dipertimbangkan. Jika Suriah menginginkan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, maka keberadaan investor non-politis dari negara-negara netral atau lembaga multilateral bisa menjadi penyeimbang dari dominasi Iran dan Rusia yang selama ini menciptakan distorsi pasar dan ketimpangan regional.
Tidak kalah penting adalah pendekatan politik internal. Sejumlah elite lokal di Latakia, Homs, dan Aleppo masih berafiliasi dengan jaringan ekonomi Iran dan Rusia. Jika renegosiasi dilakukan secara konfrontatif, maka potensi perlawanan dari jaringan lama ini tetap ada. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi transisi yang memadukan insentif ekonomi dan rekonsiliasi lokal.
Iran sendiri menyadari bahwa sebagian proyek mereka gagal bukan karena tekanan luar, tetapi karena kesalahan manajemen internal, korupsi, dan penunjukan personel yang tidak kompeten. Beberapa surat di Kedutaan Iran menunjukkan bahwa proyek Mapna di Latakia dan Jandar tersendat karena tekanan dari kontraktor lokal yang tidak memiliki kemampuan teknis.
Proyek-proyek religius yang dikelola oleh jaringan Syiah Iran di sekitar Sayyida Zaynab juga menjadi perhatian. Meski bersifat non-komersial, keberadaan proyek ini membentuk kawasan eksklusif yang bertentangan dengan semangat rekonsiliasi nasional yang diusung pemerintah baru. Pemerintah harus memutuskan apakah akan melanjutkan pembiayaan komunitas semacam ini atau memfokuskan anggaran ke sektor yang lebih inklusif.
Dalam beberapa dokumen internal Iran bahkan disebutkan bahwa pendekatan “nation building” yang mereka rancang di Suriah meniru model Amerika Serikat di Eropa pasca-Perang Dunia II. Namun, tanpa transparansi dan legitimasi publik, pendekatan ini berubah menjadi instrumen dominasi dan tidak mendapat dukungan rakyat Suriah sendiri.
Presiden Sharaa, dalam salah satu wawancaranya, menekankan pentingnya “kontrak baru” dengan dunia luar. Menurutnya, Suriah tidak bisa lagi menjadi negara satelit yang bergantung pada satu poros kekuatan. Alih-alih, Suriah ingin membangun model ekonomi nasional yang berdaulat namun terbuka terhadap investasi asing yang adil dan saling menguntungkan.
Langkah-langkah ini juga harus memperhatikan ketegangan regional yang masih berlangsung. Israel, Turki, dan negara-negara Teluk kini berlomba-lomba mengisi kekosongan pengaruh pasca-Iran. Pemerintah Damaskus harus cerdas dalam menjaga keseimbangan geopolitik baru, tanpa mengorbankan agenda reformasi domestik yang mulai berjalan.
Banyak kalangan berharap bahwa renegosiasi ulang aset Iran dan Rusia ini bisa menjadi momentum kebangkitan ekonomi baru Suriah. Jika dilakukan secara transparan, adil, dan terukur, maka negara itu berpotensi menjadi kekuatan ekonomi baru di kawasan pasca-konflik. Namun jika proses ini terjebak pada kompromi elitis dan intervensi asing, maka sejarah lama hanya akan berulang dalam wajah yang berbeda.
Post a Comment